Hari ini, H-1 Ramadhan, seperti biasa, sebelum bertemu Ramadhan, di salah satu sudut depan kampus, aku memanjakan perutku dengan makanan-makanan yang paling kusuka.
"Mumpung belum puasa..", selalu saja pikirku. Ketika sedang menyantap lumpia basah favorit, langganan Mang gerbang depan kampus, terlihat seorang bocah cilik -mungkin kelas 4 SD- duduk tidak jauh dariku. Di depannya dua keranjang, tampak seperti dagangannya. Aku penasaran, kudekati bocah itu.
"Subhanallah.., aku malu."
Kata-kata itu langsung terucap dalam hatiku. Bagaimana tidak? sepuluh menit percakapan dengan bocah itu, cukup menyentil sudut jiwaku, tanpa panjang lebar teori buku psikologi, cukup sikap seorang bocah di hadapanku. Sederhana sebenarnya, ia bercerita perjalanannya dari Ciparay ke Dago -satu kali ojek, dua kali angkot- semata untuk menjual cireng mentah. Lalu katanya lagi, ia sedang menanti buku-buku tulis yang akan diperoleh dari seorang ibu karyawan Salman.
Berdagang cireng dan menanti buku tulis, ia hanya menceritakan itu. Perjuangannya mempertahankan diri untuk tetap dapat sekolah sungguh luar biasa. Ia tegar ketika dihadapkan dengan hidup yang berat karena baginya hidup adalah perjuangan, hidup adalah pengorbanan, dan hidup adalah karunia. Baginya kesulitan ekonomi bukan masalah, selama ia mau berusaha pasti ada penyelesaian. Tidak terlontar sedikit pun keluh kesah dari bibirnya. Yang ada cukup sebuah ketegasan, dan tatapan penuh keyakinan.
"Lagi-lagi aku malu..". Malu atas keluh kesah yang sering aku lontarkan, ketika begitu banyak tugas, laporan praktikum, dan UTS sebentar lagi. Padahal aku sama sekali tidak pernah mengalami kesulitan ekonomi, tugasku hanya kuliah. Tidak perlu pusing mencari uang untuk bayar SPP.
Tapi, apakah cukup hanya dengan rasa malu?
Tidak. Aku tidak mau.
Hari ini, bulan yang penuh rahmatan lil 'alamin akan kuoptimalkan, untuk memperbaiki diri. Bukankah ini bulan training dari Allah. Bulan yang pada saat itu nabi dan sahabat menerima perintah shaum saat Perang Badar. Inilah Perang Badarku, berjuang melawan sikap keluh-kesahku terhadap tugas, laporan, UTS, dan amanah-amanah lain. Lagipula, setiap perbuatan dinilai dari niatnya. Mungkin, selama kuliah niatku masih sering melenceng sehingga dalam catatan amal soleh, kuliahku bernilai nol. Mulai dari niat, proses, dan tujuan, semua hanya untuk Allah karena hanya atas izin Allah pula aku masuk ITB. Semoga Allah menuntunku berubah menjadi lebih baik karena aku ingin menjadi golongan hamba yang mampu mensyukuri nikmat-Nya, seperti bocah itu.
Myrna Hayati
"Mumpung belum puasa..", selalu saja pikirku. Ketika sedang menyantap lumpia basah favorit, langganan Mang gerbang depan kampus, terlihat seorang bocah cilik -mungkin kelas 4 SD- duduk tidak jauh dariku. Di depannya dua keranjang, tampak seperti dagangannya. Aku penasaran, kudekati bocah itu.
"Subhanallah.., aku malu."
Kata-kata itu langsung terucap dalam hatiku. Bagaimana tidak? sepuluh menit percakapan dengan bocah itu, cukup menyentil sudut jiwaku, tanpa panjang lebar teori buku psikologi, cukup sikap seorang bocah di hadapanku. Sederhana sebenarnya, ia bercerita perjalanannya dari Ciparay ke Dago -satu kali ojek, dua kali angkot- semata untuk menjual cireng mentah. Lalu katanya lagi, ia sedang menanti buku-buku tulis yang akan diperoleh dari seorang ibu karyawan Salman.
Berdagang cireng dan menanti buku tulis, ia hanya menceritakan itu. Perjuangannya mempertahankan diri untuk tetap dapat sekolah sungguh luar biasa. Ia tegar ketika dihadapkan dengan hidup yang berat karena baginya hidup adalah perjuangan, hidup adalah pengorbanan, dan hidup adalah karunia. Baginya kesulitan ekonomi bukan masalah, selama ia mau berusaha pasti ada penyelesaian. Tidak terlontar sedikit pun keluh kesah dari bibirnya. Yang ada cukup sebuah ketegasan, dan tatapan penuh keyakinan.
"Lagi-lagi aku malu..". Malu atas keluh kesah yang sering aku lontarkan, ketika begitu banyak tugas, laporan praktikum, dan UTS sebentar lagi. Padahal aku sama sekali tidak pernah mengalami kesulitan ekonomi, tugasku hanya kuliah. Tidak perlu pusing mencari uang untuk bayar SPP.
Tapi, apakah cukup hanya dengan rasa malu?
Tidak. Aku tidak mau.
Hari ini, bulan yang penuh rahmatan lil 'alamin akan kuoptimalkan, untuk memperbaiki diri. Bukankah ini bulan training dari Allah. Bulan yang pada saat itu nabi dan sahabat menerima perintah shaum saat Perang Badar. Inilah Perang Badarku, berjuang melawan sikap keluh-kesahku terhadap tugas, laporan, UTS, dan amanah-amanah lain. Lagipula, setiap perbuatan dinilai dari niatnya. Mungkin, selama kuliah niatku masih sering melenceng sehingga dalam catatan amal soleh, kuliahku bernilai nol. Mulai dari niat, proses, dan tujuan, semua hanya untuk Allah karena hanya atas izin Allah pula aku masuk ITB. Semoga Allah menuntunku berubah menjadi lebih baik karena aku ingin menjadi golongan hamba yang mampu mensyukuri nikmat-Nya, seperti bocah itu.
Myrna Hayati
by. Moslem Funky But Syar'i
0 komentar:
Posting Komentar