Ketika cinta suci menjelma, ia bisa menjadi energi tanpa batasan, selain terpisahnya nyawa dari jasad. Legenda Qais yang bergelar Majnun, membuktikan saat Qais jatuh hati pada laila, terhalang orang tua bukan mundur. Demi memperthankan cinta sampai berubah menjadi Majnun. Pecinta yang tergila-gila hingga hidupnya berubah total (kenapa demikian… tentunya bila Qais menyerah tak akan tercipta legenda besar yang kisahnya turun temurun hingga saat anda baca lembaran ini. Romeo & Juliet pun.. yang lahir belakangan… yang kisahnya ikut-ikutan juga tak akan terjadi.. bisa saja imajinasinya tak sampai tanpa bayangan Laila Majnun).
Legenda kisah Laila Majnun sebenarnya hanya menunjukkan bagaimana sikap seseorang pecinta sejati kepada kekasihnya. Menggambarkan betapa cinta yang suci tidak mengenal lelah, lapar maupun dahaga…(he..he.. abis makan+minum jadi ndak laper deh..). energi cinta sejati yang terjaga kesuciannya… tidak pula pudar meski dinikahkan paksa dengan bangsawan yang sampai akhir hayat Laila tak berhasil disentuh. (tak sama dengan kisah remaja zaman ini… yang ditipu sinetron, telenovela, gosip dan dalam pengawalan setan. Hingga bapak dan ibu zaman ini memiliki anak gadis tak tahu pasti apakah “anaknya benar-benar perawan suci” atau penuh kudis yang terbungkus tebal kosmetik.
Nah… adakah anak yang menghitung berapa ton beras dan berapa ribu makanan yang telah dimasukkan oleh seorang Ibu untuk anaknya. Berapa kilo meter lantai telah disapu dan di pel oleh seorang ibu. Berapa banyak keheningan malam yang dilalui sang Ibu yang terjaga untuk anaknya. Berapa kali kedua tangan sang Ibu berangkat ketika berdo’a dan berapa galon air mata mengalir ketika sujud mendo’akan kebahagiaan dan keselamatan anaknya. Ibu yang bertahun-tahun menjelma menjadi relawan, dokter sekaligus perawat tanpa bayaran untuk penyakit batuk, demam, flu, cacar ataupun sekedar luka di kaki akibat terjatuhnya anak. Coba ingat waktu kecil… yang dua tahun lamanya disusukan. Ditengah malam waktu tidur… lelah payah ibu tetap terjaga lantaran mendengar tangisanmu. Bahkan ketika malam-malam engkau demam ia tahan mata dari tidur agar tak terpejam dengan penuh kegelisahan dan kekhawatiran sampai fajar datang kembali.
Hingga seorang sahabat nabi berthawaf mengelilingi Ka’bah sambil menggendong ibunya yang sudah tua, ia bertanya pada Rasul yanng mulia “Sudahkah terbayar lunas jerih payah ibuku?” Rasul menjwab “Tidak!, bahkan untuk menandingi rasa sakitnya saat melahirkan engkaupun tak terbayar!” anak tak merasa durhaka, saat ibu merana ditinggal sendirian kesepian dihari tua dalam rumah kecil, sementara dirinya tinggal ditempat nyaman, tidak merasa berdosa saat makan lezat penuh gizi sementara ibu makan seadanya, tidak merasa berdosa demi niaya sekolah anak menghindari membeli obat ibu yang lagi sakit, tidak merasa durhaka piknik atau jalan-jalan, tapi selalu saja ada alasan tidak mengunjungi ibu (atau menziarahi kubur ibu bila tiada), bahkan berdo’a dari jauhpun entah berapa tahun sekali . “Ya Rabb !! , ampuni dosa kami dan dosa kedua orang tua kami, dan sayangilah mereka sebagaimana mereka telah menyayangi kami sewaktu kecil.”
Jangan tanya apa hubugannya legenda Laia Majnun dengan nasib ibu, ibu yang disia-siakan oleh anaknya sendiri. Saat anak memassuki usia remaja dan mengenal cinta hari ini… hubungan pergaulan lawan jenis yang terjadi seperti menganggap Allah tidak ada, tidak melihat, dan tidak mendengar. Saat berkawan, bercanda … bahkan pacaran dan yang lebih dari itu. Allah perintahkan dalam Al-Qur’an tundukkan pandangan… mengapa tatap menatap, pandang memandang tanpa rasa takut Allah. Bahkan rabaa, pegang, cium atau “yang tak layak diungkapkan” pada saat Allah ingatkan jangan dekati zina.
Saat Rasulullah beritahu suara wanita adalah aurat… mengapa tampil melengking-lengking seperti suara keledai, diekspos dan dikumandangkan dimerata bumi-Nya. Saat Allah beritahukan berulang-ulang gunakan Salabib, kerudung, hijab… mengapa bukan hanya tak pakai tapi malah “telanjang”. Tidak ada rasa takut kepada Allah .. dianggap tidak ada. Remaja…pergaulan… pacaran dan kerabatnya. Anak-anak yang melakukan itu “berkata” : engkau wahai bapak ibu yang telah mati-matian merawat dan membesarkanku dengan kasih sayang dan pengorbanan yang tak bisa kubalas … engkau akan dimintai pertanggung jawaban dengan tingkah lakuku sebagai anakmu. Kelak engkau akan disiksa karena aku berpacaaran disekolah, dijalan-jalan, ditaman-taman, dimal-mal, ditempat-tempat tersembunyi…. Tanpa sepengetahuanmu.
Berpacaran… tanpa terucap, “ayah ibu… ijinkan aku berpacaran… agar kelak Allah menyiksamu.” Salah… khilaf… dosa sadari dan mohon Allah ampunkan. Mari kita raih Cinta-Nya…. Cinta Yang Hakiki…..
Legenda kisah Laila Majnun sebenarnya hanya menunjukkan bagaimana sikap seseorang pecinta sejati kepada kekasihnya. Menggambarkan betapa cinta yang suci tidak mengenal lelah, lapar maupun dahaga…(he..he.. abis makan+minum jadi ndak laper deh..). energi cinta sejati yang terjaga kesuciannya… tidak pula pudar meski dinikahkan paksa dengan bangsawan yang sampai akhir hayat Laila tak berhasil disentuh. (tak sama dengan kisah remaja zaman ini… yang ditipu sinetron, telenovela, gosip dan dalam pengawalan setan. Hingga bapak dan ibu zaman ini memiliki anak gadis tak tahu pasti apakah “anaknya benar-benar perawan suci” atau penuh kudis yang terbungkus tebal kosmetik.
Nah… adakah anak yang menghitung berapa ton beras dan berapa ribu makanan yang telah dimasukkan oleh seorang Ibu untuk anaknya. Berapa kilo meter lantai telah disapu dan di pel oleh seorang ibu. Berapa banyak keheningan malam yang dilalui sang Ibu yang terjaga untuk anaknya. Berapa kali kedua tangan sang Ibu berangkat ketika berdo’a dan berapa galon air mata mengalir ketika sujud mendo’akan kebahagiaan dan keselamatan anaknya. Ibu yang bertahun-tahun menjelma menjadi relawan, dokter sekaligus perawat tanpa bayaran untuk penyakit batuk, demam, flu, cacar ataupun sekedar luka di kaki akibat terjatuhnya anak. Coba ingat waktu kecil… yang dua tahun lamanya disusukan. Ditengah malam waktu tidur… lelah payah ibu tetap terjaga lantaran mendengar tangisanmu. Bahkan ketika malam-malam engkau demam ia tahan mata dari tidur agar tak terpejam dengan penuh kegelisahan dan kekhawatiran sampai fajar datang kembali.
Hingga seorang sahabat nabi berthawaf mengelilingi Ka’bah sambil menggendong ibunya yang sudah tua, ia bertanya pada Rasul yanng mulia “Sudahkah terbayar lunas jerih payah ibuku?” Rasul menjwab “Tidak!, bahkan untuk menandingi rasa sakitnya saat melahirkan engkaupun tak terbayar!” anak tak merasa durhaka, saat ibu merana ditinggal sendirian kesepian dihari tua dalam rumah kecil, sementara dirinya tinggal ditempat nyaman, tidak merasa berdosa saat makan lezat penuh gizi sementara ibu makan seadanya, tidak merasa berdosa demi niaya sekolah anak menghindari membeli obat ibu yang lagi sakit, tidak merasa durhaka piknik atau jalan-jalan, tapi selalu saja ada alasan tidak mengunjungi ibu (atau menziarahi kubur ibu bila tiada), bahkan berdo’a dari jauhpun entah berapa tahun sekali . “Ya Rabb !! , ampuni dosa kami dan dosa kedua orang tua kami, dan sayangilah mereka sebagaimana mereka telah menyayangi kami sewaktu kecil.”
Jangan tanya apa hubugannya legenda Laia Majnun dengan nasib ibu, ibu yang disia-siakan oleh anaknya sendiri. Saat anak memassuki usia remaja dan mengenal cinta hari ini… hubungan pergaulan lawan jenis yang terjadi seperti menganggap Allah tidak ada, tidak melihat, dan tidak mendengar. Saat berkawan, bercanda … bahkan pacaran dan yang lebih dari itu. Allah perintahkan dalam Al-Qur’an tundukkan pandangan… mengapa tatap menatap, pandang memandang tanpa rasa takut Allah. Bahkan rabaa, pegang, cium atau “yang tak layak diungkapkan” pada saat Allah ingatkan jangan dekati zina.
Saat Rasulullah beritahu suara wanita adalah aurat… mengapa tampil melengking-lengking seperti suara keledai, diekspos dan dikumandangkan dimerata bumi-Nya. Saat Allah beritahukan berulang-ulang gunakan Salabib, kerudung, hijab… mengapa bukan hanya tak pakai tapi malah “telanjang”. Tidak ada rasa takut kepada Allah .. dianggap tidak ada. Remaja…pergaulan… pacaran dan kerabatnya. Anak-anak yang melakukan itu “berkata” : engkau wahai bapak ibu yang telah mati-matian merawat dan membesarkanku dengan kasih sayang dan pengorbanan yang tak bisa kubalas … engkau akan dimintai pertanggung jawaban dengan tingkah lakuku sebagai anakmu. Kelak engkau akan disiksa karena aku berpacaaran disekolah, dijalan-jalan, ditaman-taman, dimal-mal, ditempat-tempat tersembunyi…. Tanpa sepengetahuanmu.
Berpacaran… tanpa terucap, “ayah ibu… ijinkan aku berpacaran… agar kelak Allah menyiksamu.” Salah… khilaf… dosa sadari dan mohon Allah ampunkan. Mari kita raih Cinta-Nya…. Cinta Yang Hakiki…..
0 komentar:
Posting Komentar